Kawasan Industri Perkulitan di Tanggulangin sejak tahun akhir 1950-an dengan adanya beberapa pekerja koper kulit di Surabaya, hingga tahun 1960-an mereka pulang di beberapa desa di Tanggulangin untuk mengembangan produksi koper kulit nabati yang saat itu menjadi satu-satunya koper kulit yang ada.
Semakin berkembangannya usaha koper kulit dan imitasi pada tahun 1970-an membutuhkan tenaga trampil dari sekitar dengan cara magang kerja (ngernet sambil sekolah) dan hasil produksi dikirim ke kota di Jawa, seperti Surabaya, Semarang, Bandung dan Jakarta. Hingga akhir 1970-an terbentuklah sebuah Koperasi Industri Tas dan Koper yang disingkat Koperasi INTAKO, sebagai wadah untuk menjual hasil-hasil anggota dan terus berkembang hingga awal 1990-an.
Malapetaka buat Industri Perkulitan Tanggulangin bener-bener terjadi, menyebabkan urban pekerja trampil ke Bali, Surabaya daan beberapa pabrik disekitar Jawa Timur yang mulai memanfaatkan tenaga trampil di Tanggulangin dan sebagian pulang ke kampungnya di Jawa Timur barat dan Jawa Tengah untuk mulai mengembangkan ilmunya belajar di Tanggulangin.
Adanya jalan alternatif baru pada tahun kelima membuat urat nadi Tanggulangin mulai bergeliat kembali, dengan semakin baiknya akses menuju Tanggulangin dan semakin banyak pula wisata antar daerah yang berkunjung ke Tanggulangin, namun sebagian besar tenaga yang urban belum kembali dan tidak ada regenerasi tenaga trampil baru. Sebagian yang bekerja di pabrik disekitar Tanggulangin sudah mulai nyaman dan tidak kembali menjadi tenaga trampil di Tanggulangin.
Beberapa Penyebab Mandegnya Tenaga Trampil:
1. Diduga karena upah buruh yang kurang
2. Banjirnya produk import dari China
3. Kurangnya teknologi permesinan
4. Tidak ada keperdulian pemerintah daerah atas krisis akibat lumpur lapindo
5. Pemanfaatan Internet untuk marketing online masih kurang.
Krisis tenaga trampil perkulitan di Tanggulangin menjadi sangat serius bagi sebagian stakeholder di Tanggulangin, namun upaya-upaya yang cukup serius untuk menanggani ini tidak mampu dilakukan oleh pengrajin di Tanggulangin, perlu bantuan pelatihan dari pemerintah daerah, kementerian terkait karena sekarang isu global dalam perdagangan sepertinya halnya pasar bebas ASEAN (ASEAN COMMUNITY) sebentar lagi kita hadapi. Oleh sebab itu perlu sekali pemerintah Sidoarjo untuk turun langsung mengatasi ini, dan yang kami takutkan jangan sampai 5-10 tahun kedepan Tanggulangin tinggal nama saja.
Semakin berkembangannya usaha koper kulit dan imitasi pada tahun 1970-an membutuhkan tenaga trampil dari sekitar dengan cara magang kerja (ngernet sambil sekolah) dan hasil produksi dikirim ke kota di Jawa, seperti Surabaya, Semarang, Bandung dan Jakarta. Hingga akhir 1970-an terbentuklah sebuah Koperasi Industri Tas dan Koper yang disingkat Koperasi INTAKO, sebagai wadah untuk menjual hasil-hasil anggota dan terus berkembang hingga awal 1990-an.
Pada awal 1990-an Kawasan Industri Perkulitan Tanggulangin semakin maju dan dikenal seantero Nusantara, sehingga menarik para pengrajin untuk mendirikan toko atau showroom untuk display hasil produksi mereka masing-masing. Hingga sepanjang 2 km kawasan industri kecil sepanjang jalan masuk hingga ke Koperasi Intako penuh dengan toko tas dan koper, jaket, bordir dll hingga puncaknya tahun 2006.
Pada akhir mei 2006 TRAGEDI LUMPUR PANAS LAPINDO terjadi dan awalnya kami tidak pernah menyangka jika luapan lumpur panas bisa menutup akses tol porong-gempol dan membuat macet jalan nasional porong hingga beberapa kilometer jika siang hari, menyebabkan lumpuhnya perekonomian di Sidoarjo selatan dan menyebabkan bangkrutnya sebagaian besar pengrajin dan tutupnya toko tas karena sepinya konsumen dan terganggunya akses menuju Tanggulangin.
Adanya jalan alternatif baru pada tahun kelima membuat urat nadi Tanggulangin mulai bergeliat kembali, dengan semakin baiknya akses menuju Tanggulangin dan semakin banyak pula wisata antar daerah yang berkunjung ke Tanggulangin, namun sebagian besar tenaga yang urban belum kembali dan tidak ada regenerasi tenaga trampil baru. Sebagian yang bekerja di pabrik disekitar Tanggulangin sudah mulai nyaman dan tidak kembali menjadi tenaga trampil di Tanggulangin.
Beberapa Penyebab Mandegnya Tenaga Trampil:
1. Diduga karena upah buruh yang kurang
2. Banjirnya produk import dari China
3. Kurangnya teknologi permesinan
4. Tidak ada keperdulian pemerintah daerah atas krisis akibat lumpur lapindo
5. Pemanfaatan Internet untuk marketing online masih kurang.
Krisis tenaga trampil perkulitan di Tanggulangin menjadi sangat serius bagi sebagian stakeholder di Tanggulangin, namun upaya-upaya yang cukup serius untuk menanggani ini tidak mampu dilakukan oleh pengrajin di Tanggulangin, perlu bantuan pelatihan dari pemerintah daerah, kementerian terkait karena sekarang isu global dalam perdagangan sepertinya halnya pasar bebas ASEAN (ASEAN COMMUNITY) sebentar lagi kita hadapi. Oleh sebab itu perlu sekali pemerintah Sidoarjo untuk turun langsung mengatasi ini, dan yang kami takutkan jangan sampai 5-10 tahun kedepan Tanggulangin tinggal nama saja.